DBH Migas Riau Dipangkas Drastis, Meranti di Ujung Krisis Fiskal

MERANTI – Pemerintah pusat memangkas tajam alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi (migas) untuk Provinsi Riau pada tahun anggaran 2026. Dari Rp2,63 triliun pada 2025, jumlahnya turun menjadi Rp1,17 triliun. Pemotongan lebih dari separuh ini membuat daerah penghasil migas di Riau kelimpungan, terutama Kabupaten Kepulauan Meranti. 

Data yang diperoleh wartawan menunjukkan, DBH migas untuk Meranti tahun depan hanya sebesar Rp28,38 miliar, merosot lebih dari 60 persen dibanding 2025 yang mencapai Rp77,01 miliar. Dua tahun sebelumnya, Meranti masih menerima Rp115,07 miliar pada 2023 dan Rp59,21 miliar pada 2024.

“Ruang fiskal kami makin sempit. Hampir 90 persen APBD Meranti bergantung pada dana transfer pusat,” ujar seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Jumat pekan lalu.

Menurut dia, pemangkasan ini memaksa pemerintah daerah menunda sejumlah proyek strategis, termasuk pembangunan infrastruktur dasar dan peningkatan layanan kesehatan. “Kami sedang menghitung ulang seluruh rencana kerja. Banyak yang harus direvisi,” katanya.

Kepulauan Meranti merupakan satu-satunya daerah penghasil migas di pesisir Riau yang masih memiliki produksi aktif di Wilayah Kerja Malacca Straits, dikelola oleh PT Imbang Tata Alam (EMP). Namun, penurunan produksi di lapangan tua tersebut membuat porsi DBH ikut anjlok. Ironisnya, meski memiliki ladang migas, porsi DBH Kepulauan Meranti justru lebih kecil dibanding Kabupaten Indragiri Hilir yang tidak memiliki satu pun sumur minyak.

Pemerhati sosial dan kebijakan publik, Irvan Nasir, menilai kondisi ini sebagai paradoks pemerataan fiskal pasca penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). “Redistribusi DBH memang bertujuan pemerataan, tapi bagi daerah penghasil seperti Meranti, hasilnya justru terbalik. Mereka menanggung dampak lingkungan dan sosial, tapi mendapat bagian lebih kecil,” ujar Irvan.

Selain faktor redistribusi, Irvan menyebut penurunan DBH juga dipicu oleh perubahan sistem kontrak migas nasional dari cost recovery menjadi gross split. Dalam skema baru ini, kontraktor mendapat porsi tetap dari pendapatan kotor tanpa mekanisme penggantian biaya produksi. Negara dan daerah hanya memperoleh bagian yang telah ditetapkan di awal kontrak. “Gross split membuat bagian negara dan otomatis daerah menjadi lebih kecil, apalagi jika produksi turun. Dampaknya langsung terasa di laporan keuangan daerah,” kata Irvan.

Kepulauan Meranti juga menghadapi persoalan lain: belum tuntasnya penetapan batas wilayah produksi migas dengan Kabupaten Bengkalis dan Siak. Akibatnya, sebagian hasil lifting yang berada di sekitar wilayah Meranti tercatat sebagai produksi dua kabupaten tetangga itu. “Secara statistik, sebagian rezeki Meranti tercatat di meja tetangga,” ujar Irvan.

Ia menilai ketidakjelasan batas ini berdampak langsung pada kapasitas fiskal daerah. “Batas wilayah menentukan berapa sekolah yang bisa dibangun dan berapa banyak rumah warga diperbaiki,” katanya.

Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti mengamanatkan bahwa penetapan batas administratif seharusnya tuntas maksimal lima tahun setelah kabupaten diresmikan. Namun hingga kini, Meranti belum memiliki Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang batas daerah. Akibatnya, Meranti tak berhak menerima DBH perbatasan migas maupun sawit seperti daerah lain. “Jika status itu diakui, potensi tambahan pendapatan Meranti bisa mencapai hampir Rp100 miliar per tahun,” kata Irvan.

Penurunan juga terjadi pada DBH Perkebunan Kelapa Sawit. Tahun depan, Meranti hanya menerima Rp1,62 miliar, turun drastis dari Rp4,01 miliar pada 2025. Padahal, Riau merupakan salah satu penghasil CPO terbesar di dunia, dengan luas kebun sawit mencapai 3,4 juta hektare dan produksi 9,2 juta ton per tahun. “Ini ironi. Daerah yang memberi sumbangan besar pada ekonomi nasional justru miskin fiskal,” ujar Irvan.

Secara keseluruhan, alokasi DBH untuk seluruh pemerintah daerah di Riau tahun 2026 hanya Rp2,96 triliun, turun dari Rp7,75 triliun pada 2025. Artinya terjadi pemangkasan Rp4,8 triliun atau lebih dari 61 persen. Khusus Kepulauan Meranti, total DBH yang diterima turun dari Rp191,03 miliar menjadi Rp67,71 miliar penurunan 64 persen. Kondisi ini diperkirakan berdampak langsung pada program pembangunan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur desa. “Penurunan ini bukan sekadar persoalan angka, tapi soal keadilan fiskal,” kata Irvan. “Negeri ini harus sadar, keadilan bukan sama rata, tapi adil sesuai kontribusi dan beban. Meranti sudah memberi, tapi belum menerima dengan layak.”(AL)

 

TERKAIT