Cahaya dari Tengah Rimba: Batu Bosa Menyala Bersama Energi Negeri
SIAK — Malam di Dusun Batu Bosa kini tak lagi pekat. Langitnya memang masih gelap, tapi dari kejauhan, cahaya lampu mulai berpendar di antara pepohonan karet dan sawit. Rumah-rumah kayu yang dulu hanya diterangi pelita minyak kini bersinar terang. Suara tawa anak-anak terdengar dari balik jendela, sebagian masih duduk di depan buku, menikmati malam tanpa takut kehabisan minyak tanah.
Rahimah, 40 tahun, ibu tiga anak, masih tak percaya. Ia menatap bola lampu yang menggantung di ruang tamu kecilnya dengan senyum tak lepas dari wajah. “Dulu kalau malam cepat sekali gelap. Anak-anak belajar di bawah lampu teplok, asapnya bikin mata perih. Kalau minyak habis, ya sudah, tidur saja lebih cepat,” katanya lirih. Kini, listrik mengubah segalanya—membuka ruang bagi harapan yang dulu padam bersama malam.

Selama bertahun-tahun, Batu Bosa hidup dalam kegelapan. Dusun yang terletak sekitar 59 kilometer dari Kota Siak Sri Indrapura itu termasuk wilayah 3T tertinggal, terdepan, dan terluar. Infrastruktur terbatas, jalan sebagian masih tanah merah, sinyal telepon lemah, dan listrik adalah kemewahan yang hanya bisa dibayangkan. Namun, keadaan itu berubah setelah PT PLN (Persero) melalui program Penyertaan Modal Negara (PMN) membentangkan jaringan listrik hingga ke pelosok desa.
Sebanyak 150 Kepala Keluarga kini menikmati listrik 24 jam penuh. Peresmian jaringan listrik itu menandai selesainya pembangunan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), Jaringan Tegangan Rendah (JTR), serta Saluran Listrik Rumah (SLR) yang telah memperoleh Sertifikat Laik Operasi (SLO). Arus listrik PLN kini mengalir stabil ke rumah-rumah warga, membawa perubahan yang dulu hanya jadi angan.
General Manager PLN Unit Induk Distribusi Riau dan Kepulauan Riau (UID RKR), Parulian Noviandri, menyebut proyek ini sebagai bagian dari upaya menghadirkan energi berkeadilan.
“Kami terus memperluas akses listrik ke seluruh pelosok negeri. Ini bentuk nyata keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Bagi Parulian, listrik bukan sekadar penerangan, melainkan fondasi bagi kemajuan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.
Perjalanan PLN menuju Batu Bosa bukan tanpa rintangan. Jalan sempit, tanjakan curam, dan lumpur pekat saat musim hujan kerap membuat truk pengangkut tiang listrik terperosok. “Tapi kami tidak menyerah. Semangat insan PLN tetap menyala untuk menerangi saudara-saudara kita,” kata Parulian.
Hasilnya kini nyata: jaringan tegangan menengah sepanjang 13,75 kilometer sirkit (kms), jaringan tegangan rendah 10,43 kms, serta dua unit trafo distribusi berkapasitas 100 kilovolt ampere (kVA) berdiri tegak di antara pepohonan sawit.
Kehadiran listrik membawa denyut baru bagi Batu Bosa. Di satu sudut dusun, suara mesin jahit terdengar hingga malam. Pemiliknya, Jumarni (35 tahun), kini bisa menerima lebih banyak pesanan pakaian. “Dulu cuma bisa menjahit siang hari. Sekarang bisa lembur malam, pesanan banyak, rezeki juga tambah,” katanya sambil tersenyum malu.
Bagi anak-anak sekolah, listrik adalah jendela menuju masa depan. Guru SD setempat, Nasrul, bercerita, “Dulu murid sering ngantuk di kelas karena malamnya tak bisa belajar. Sekarang malah banyak yang cerita nonton video pelajaran lewat HP.” Menurutnya, listrik telah memantik semangat baru di ruang-ruang belajar, membuka peluang anak kampung kecil itu mengejar dunia yang lebih luas.
Di bidang kesehatan, dampaknya juga terasa. Puskesmas pembantu yang dulu hanya buka hingga sore kini bisa beroperasi lebih lama. Lemari pendingin vaksin yang lama tak berfungsi kini menyala stabil. “Kami tak perlu lagi menumpang simpan vaksin ke kota. Ini sangat membantu,” kata Sri Wahyuni, tenaga kesehatan di Desa Minas Barat. Ia berharap, ke depan, alat penghangat bayi dan mesin nebulizer juga dapat diaktifkan.
Ekonomi warga pun menggeliat. Kios kecil di pinggir jalan kini menjual es batu, minuman dingin, dan makanan beku. “Kulkas nyala terus. Orang kampung jadi sering beli es,” kata Ramli (42 tahun), pemilik warung sembako. Sejak listrik masuk, pendapatannya meningkat hampir dua kali lipat. Ia bahkan berencana membeli mesin giling daging untuk menjual bakso buatan sendiri.
Namun, perubahan ini tak datang begitu saja. Warga ikut bergotong royong membuka jalan agar truk PLN bisa masuk membawa tiang listrik. “Kami bantu bersihkan jalur. Kalau bukan kami, siapa lagi,” ujar Sudirman, tokoh masyarakat Batu Bosa. Kini, setiap malam, warga sering berkumpul di balai desa, menonton siaran bola atau mengaji bersama, sesuatu yang dulu tak mungkin dilakukan di bawah cahaya lampu teplok.
Pemerintah Kabupaten Siak pun menyambut baik langkah PLN. Seorang pejabat Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Riau menyebut elektrifikasi wilayah 3T sebagai bagian penting pemerataan pembangunan. “Pemerataan energi berarti pemerataan kesempatan hidup yang lebih baik,” ujarnya. Listrik bukan hanya cahaya, tapi simbol negara yang benar-benar hadir di tengah rakyat.
Rahimah merasakan langsung makna kalimat itu. Ia tak lagi khawatir anak-anaknya belajar dalam gelap. Mereka kini menatap layar ponsel, belajar dari video, dan bermimpi lebih besar. Ia bahkan mulai berencana membuka usaha kecil. “Saya mau jualan kue basah. Sekarang bisa pakai mixer listrik. Dulu tak mungkin,” ujarnya tersenyum bangga.
Listrik di Batu Bosa adalah bukti bahwa keadilan energi bisa menyalakan harapan. Di tengah rimba Riau yang sunyi, cahaya menjadi tanda bahwa pembangunan tak lagi berhenti di kota. Ia hadir di dusun terpencil, memberi kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang selama ini hidup dalam gelap.
“Sekarang kampung kami tak kalah dengan kampung lain. Ada cahaya, ada harapan,” kata Jumarni menutup sore itu. Di luar rumahnya, suara genset telah lama berhenti. Yang tersisa hanyalah cahaya putih lembut di halaman saksi bahwa terang akhirnya benar-benar tiba di Batu Bosa
Penulis : Diana Sari










Tulis Komentar