Skandal Retribusi Pelabuhan Bengkalis: Dishub Dilaporkan ke Kejati Riau, BPK Temukan Kejanggalan Rp6,1 Miliar
BENGKALIS — Dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan retribusi kepelabuhanan oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bengkalis akhirnya resmi dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Jumat (24/10/2025). Laporan tersebut disampaikan oleh Masyarakat Peduli Transparansi Publik (MPTP) yang menilai pengelolaan dana retribusi penyeberangan RoRo Air Putih Sungai Selari selama ini tidak transparan dan sarat penyimpangan.
“Ini bukan hanya soal pelayanan publik yang buruk, tapi juga ada indikasi kuat pelanggaran terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP),” ujar Syahrul, perwakilan MPTP, usai menyerahkan laporan ke Kejati Riau.
Dugaan penyimpangan dalam pengelolaan retribusi ini sebelumnya juga telah disoroti oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman RI Perwakilan Riau. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, ditemukan kejanggalan pada realisasi pendapatan retribusi kepelabuhanan Bengkalis yang mencapai Rp6,13 miliar. BPK menyoroti bahwa pemungutan retribusi dilakukan oleh Koperasi Karyawan Dishub tanpa dasar hukum atau perjanjian kerja sama yang sah.
Lebih jauh, BPK menemukan bahwa dana hasil retribusi tidak langsung disetor ke kas daerah. Sebaliknya, dana sempat disimpan di brankas koperasi dengan jeda penyetoran hingga 28 hari. “Dalam laporan ke Kejati, kami lampirkan bukti LHP BPK dan dokumen pendukung lainnya. Kami ingin pengelolaan RoRo Bengkalis dilakukan secara profesional, transparan, dan bebas dari praktik korupsi,” kata Syahrul.
Menurut MPTP, praktik seperti ini berpotensi melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebut bahwa penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dapat diancam pidana hingga 20 tahun penjara. “Pola penyetoran yang tidak disiplin dan pengelolaan dana di luar kas daerah jelas melanggar prinsip akuntabilitas keuangan negara,” tegas Syahrul.
Selain potensi korupsi, laporan MPTP juga menyoroti pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Menurut mereka, Dishub Bengkalis tidak pernah mengumumkan laporan penggunaan dana retribusi secara berkala kepada publik sebagaimana diamanatkan Pasal 9 ayat (1) UU KIP. “Padahal dana retribusi itu bersumber dari masyarakat. Tidak adanya transparansi adalah bentuk pelanggaran terhadap hak publik untuk tahu,” ujarnya.
MPTP berharap Kejati Riau segera menindaklanjuti laporan tersebut secara terbuka dan profesional. Terlebih, Kepala Kejati Riau kini dijabat oleh Sutikno, jaksa senior yang dikenal berpengalaman menangani kasus-kasus korupsi besar. Jaksa Agung ST Burhanuddin baru saja melantik Sutikno pada Kamis (23/10/2025), setelah sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Mutasi Sutikno ke Riau menjadi bagian dari rotasi besar-besaran terhadap 73 pejabat tinggi kejaksaan di seluruh Indonesia. Penunjukan ini disebut sebagai langkah strategis memperkuat penegakan hukum di daerah, khususnya pemberantasan korupsi.
“Tugas berat menanti Kajati baru. Temuan BPK dan rekomendasi Ombudsman sudah cukup kuat. Kini publik menunggu langkah nyata Kejati Riau dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” kata Syahrul.
Ia menambahkan, pengelolaan penyeberangan RoRo Air Putih Sungai Selari bukan hanya soal antrean kendaraan dan kapal, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan daerah.
“Jika dugaan penyimpangan ini terbukti, maka Kejati Riau wajib menjerat pihak-pihak yang terlibat sesuai ketentuan UU Tipikor dan memastikan setiap rupiah retribusi benar-benar masuk ke kas daerah,” pungkasnya.(Adi)










Tulis Komentar